Jika pasangan menggampangkan permasalahan (saat sebuah janji tak ubahnya seperti ucapan biasa)


Saat kita dihadapkan dengan sebuah realita berupa "janji" kadang diri kita sendiri tidak bisa memenuhi kehendak kita. Seperti saat ini, ketika saya bermain ke tempat saudara di Pemalang yang kebetulan saat itu sedang ada rapat panitia Lomba Mancing Mania, dari pihak panitia menjanjikan hanya akan menerima jumlah peserta hanya 100 orang, tapi saat pendaftaran dibuka lebih dari hal itu, karena peminat yang sangat menuntut pada panitia lomba, itu dikarenakan sikap menggampangkan atau menyepelekan sebuah komitmen atau janji. Hal itu secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap eksistensi dari seseorang atau sekelompok orang. Selain merupakan refleksi sikap memandang rendah perilaku. Perilaku menggampangkan juga merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan diri dari sang pelakunya.
Coba kita terapkan dalam dunia romansa ini, siapa yang enggak kesal kalau pasangan malah menggampangkan persoalan yang kita hadapi? Bukan cuma itu, ia pun kerap dengan enteng menjanjikan sesuatu, "Bereslah sayang, bulan depan akan aku ajak ke rumah orang tuaku, deh!" atau, "Santai aja , Yah, sebentar lagi juga saya kerjain , koq." Padahal nyatanya, itu cuma sebatas janji atau omongan belaka alias tak pernah terealisasi.
Perilaku ngegampangin begini banyak dipengaruhi oleh modelling karena memang terkait erat dengan interaksi sosial. Baik peniruan langsung dari orang tua, lingkungan/budaya masyarakat terdekat, atau siapa pun yang dijadikan sosok peniruan oleh individu bersangkutan. Terlebih di masa balita, bukankah modelling amat kuat melekat dalam diri anak, hingga apa pun yang kita lakukan pasti akan ditirunya? Tak heran bila kita cenderung ngegampangin, si kecil pun akan menunjukkan perilaku serupa. " Entar dulu, ya, Ma, lagi asyik nonton nih. Pokoknya, jangan khawatir, deh, nanti juga mainannya Kakak beresin ," misal.
Bentuk peniruan itu sendiri, baik dari orang tua/keluarga terdekat maupun lingkungan masyarakat atau orang yang tak memiliki kedekatan emosional sama sekali, bisa berupa sikap/tindakan acuh tak acuh terhadap persoalan yang ada, kebiasaan menyepelekan persoalan apa pun atau malah tak bergeming memberi perhatian pada orang lain, termasuk pada mereka yang sedang dilanda masalah. Hingga secara umum orang yang memiliki kecenderungan ngegampangin ini jadi terlihat tak peduli pada sesama dan bersikap egois dalam hampir semua tindakannya.
Sikap Yang Salah KaprahMasih terkait dengan peniruan, banyak orang menganggap ngegampangin yang berkonotasi negatif identik dengan aktivitas mempermudah pekerjaan (to simplify). Padahal, antara keduanya tak memiliki kesamaan sedikit pun. "Aktivitas mempermudah pekerjaan dilakukan oleh orang yang punya tingkat kecerdasan dan kreativitas tinggi".
Orang seperti ini akan merasa tertantang untuk memusatkan perhatian dan energinya pada hal-hal utama yang dianggap penting dan membatasi hal-hal yang memang betul-betul tak dibutuhkan. Jadi, ia bisa bersikap realistis dan proporsional tanpa membesar-besarkan masalah itu sendiri ataupun menambah kesulitan yang ada. Itu sebab ia mampu melihat persoalan dengan lebih mudah.
Celakanya, mekanisme kerja untuk mempermudah hal ini ditiru banyak orang secara salah kaprah. Dianggapnya, dengan ngegampangin, ia seolah mampu memecahkan masalah demi masalah begitu mudah. Padahal, yang sebenarnya terjadi, ia tak tahu apa yang tengah menjadi masalah. Hingga, kala hasilnya mengecewakan atau berada di bawah standar yang diharapkan, ia langsung membentuk defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Entah dengan selalu berkelit atau menyalahkan orang/objek lain di luar dirinya yang bersifat eksternal, "sayang, sih, mintanya yang mahal-mahal, makanya enggak kebeli sama aku.", misal, atau "Habis, temanku curang, sih, makanya aku jadi kalah!"
Faktor InternalPola perilaku ngegampangin , bisa juga disebabkan faktor-faktor internal dari diri si individu. Di antaranya bentuk kompensasi dari ketidakmampuan seseorang untuk melihat masalah yang sesungguhnya secara proporsional. "Ia terbiasa menilai segala sesuatu dari kulit luarnya saja." Individu model ini dimasukkan dalam kategori sembrono/ceroboh. Soalnya, ia bersikap demikian hanya karena merasa tak punya waktu untuk menganalisa atau malah memang tak mampu membuat analisa. Jadi, bukan karena benar-benar tak punya waktu atau sudah menunjukkan usaha maksimal.
Kemungkinan lain, ia tak punya referensi yang cukup sebagai penunjang analisanya. Penyebabnya apalagi kalau bukan lantaran ia tak mau dan tak mampu melihat segala sesuatu dengan lebih seksama/secara mendalam. Tak heran bila hasilnya jauh dari sempurna atau tak sesuai yang diharapkan.
Selain itu tak tertutup kemungkinan yang bersangkutan cenderung overestimate terhadap diri sendiri. Artinya, ia menilai dirinya punya kemampuan melebihi kemampuan yang sebetulnya. Dengan kata lain, ia mengalami kesalahan dalam mengidentifikasikan dirinya sendiri. Misal, sang pria menilai dirinya pandai berhemat atau bisa meningkatkan kualitas kerja hingga mendapat tambahan penghasilan untuk membelikan hadiah yang diidamkan pasangannya. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan, ia terkejut, apa yang semula diperkirakannya sedemikian mudah, ternyata justru sebaliknya. Paling tidak ia terkaget-kaget harga emas/berlian sudah begitu tinggi, sementara uangnya sama sekali tak mencukupi. Itu sebab, apa yang dijanjikannya pada pasangan tak pernah bisa terealisasi.
Bentuk overestimate diri ini sebetulnya merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan dirinya. "Ia enggan berusaha lebih keras karena memang tahu dirinya tak punya daya ekstra untuk mengoptimalkan usahanya. Kompensasi tadi kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku memandang gampang semua masalah."
Anggap Diri HebatBila digali lebih jauh, penyebab munculnya sikap ngegampangin dalam sebuah hubungan ternyata merupakan cerminan/refleksi sikap memandang rendah wanita/prianya. Ia tak menganggap penting permintaan/kebutuhan pasangan, entah lantaran memang kurang peka atau tak membiasakan diri untuk mendengarkan kebutuhan pasangannya. Ia lebih sibuk "bicara" sendiri dan minta didengarkan orang lain, terlebih oleh pasangannya. Jadi, bukan cuma karena ketidakmampuan menganalisa masalah, lho.Tak heran bila kecenderungan mementingkan diri sendiri ini membuatnya begitu mudah melupakan apa yang pernah ia ucapkan/janjikan pada pasangannya. Tentu saja sikap egois dan kekanak-kanakan ini sangat menjengkelkan pasangan karena harusnyatak perlu muncul dalam kehidupan perkawinan. Sayangnya, individu seperti ini juga cenderung ogah mawas diri, selain selalu keberatan bila diminta introspeksi ataupun memperbaiki diri. Sebabnya, apalagi kalau bukan lantaran ia menganggap memang tak ada yang salah pada dirinya. Nah, runyam, kan?
Ironisnya, perilaku ngegampangin ini dilakukan secara sadar. Kendati di saat yang bersamaan, ia justru tak menyadari kekurangan yang dimilikinya. Ia menganggap dirinya begitu hebat dan mengharapkan orang lain memberi penilaian yang sama bahwa dirinya memang benar hebat. Makanya, dengan bersikap ngegampangin seperti itu, dirinya sebetulnya sangat mengharapkan respon berupa pujian dan "tepuk tangan" dari orang lain. Minimal, ia ingin dianggap dirinya hebat, kreatif dan pandai atau cerdas menyelesaikan masalah serumit apa pun. Kendati tak demikian adanya.
Tagih Terus Janjinya
Menghadapi pasangan model ini, menurut Monty, kita harus mengkonfrontasikannya dengan kenyataan. Tagih atau tanyakan terus apa yang pernah ia janjikan. Bila perlu minta ia menjelaskan secara detil kapan dan bagaimana ia dapat merealisasikan janjinya itu. Suka atau tidak suka, ia memang harus ditarik keluar dari mimpi-mimpinya itu. Dengan demikian ia sedikit demi sedikit tak lagi hidup dalam fantasi kebesarannya.
Tentu saja ini tak mudah. Bukan tak mungkin malah akan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru di antara pasangan. Soalnya, orang seperti ini tak mau mengakui dirinya bermasalah. Kendati begitu, kita harus berusaha terus-menerus dengan berbagai carauntuk menyampaikan informasi bahwa kita cukup terganggu dengan kebiasaannya itu. Bahkan untuk kasus-kasus "berat" yang susah ditangani sendiri karena sudah begitu mendarah daging, bantuan dari ahli berupa terapi realitas (reality therapy) jelas sangat diperlukan.
Semoga apa yang saya sampaikan saat ini bisa dijadikan referensi moral dalam kehidupan romansa Anda, karena tak hanya sekedar menjadi opini pribadi saja apabila disertai oleh fakta.
Demi kemajuan kita semua segeralah bergabung bersama kami di Fans Page : Broken Heart Survival Guide, untuk mendapatkan materi-materi berkualitas lainnya untuk sebuah infestasi besar dalam hidup Anda.

Indahnya berbagi cerita dan cinta terhadap orang lain seperti Anda.

Salam revolusi cinta

0 Response to "Jika pasangan menggampangkan permasalahan (saat sebuah janji tak ubahnya seperti ucapan biasa)"

Post a Comment